Belajar Pernikahan Beda Agama dari Film "Berebut Jenazah"

Sumber : Hukumonline

Pernikahan beda agama memang menjadi hal tabu di Indonesia. Karena berdasarkan UU 1/1974 pasal 2 dan SEMA No. 2/2023 perkawinan harus seagama, walaupun sebenarnya tergantung bagaimana aturan agama masing² karena ada salah satu agama yaitu katholik memperbolehkan pernikahan beda agama.


Padahal pernikahan sendiri itu adalah ikatan sucu antara pria dan wanita dengan rasa saling kasih cinta dan kasih sayang terlepas apapun agamanya menurut saya. Buat apa satu agama tapi banyak perselingkuhan, tidak saling memberikan kasih cinta dan kasih sayang? Jika memang saling kasih sayang dan kasih cinta didapat dari pria/wanita berbeda agama, kenapa tidak? Inti daripada pernikahan menurut saya adalah komunikasi yang berjalan terus sehingga dapat memberikan kasih cinta dan kasih sayang sehingga terwujudlah suatu rasa untuk saling memberikan perlindungan dan kebahagiaan sepanjang masa.


Dari film " Berebut Jenazah" sebetulnya bapak Naomi menikahi Ibu Naomi yang merupakan Gadis Jepang beragama Budha sudah tepat. Karena rasa kasih sayang dan cinta terwujud. Namun karena pemuka agama ekstrimis mendatangi rumah bapak Naomi sehingga menjadi sangat ekstrimis, tentu ini menjadi masalah buat rumah tangganya. Dimulai dari sholat yang kurang dari 15 menit ia tolak, padahal negara Jepang sendiri sudah memperhitungkan untuk sholat itu tidak lebih dari 15 menit, namun karena ekstrimisnya malah menolak, kembali ke Indonesia, becerai, dan menikahi perempuan ekstrimis bercadar, dan malah memaksakan anaknya menggunakan hijab yang tentunya anaknya menolak dan ingin menjadi idol.


Sebetulnya, pernikahan beda agama adalah mimpi saya. Saya ingin mengetahui dan belajar bagaimana toleransi terwujud dari beda agama. Dengan menikah beda agama, kita bisa merayakan hari raya yang berbeda dengan semarak yang begitu meriah sekali dari kedua agama. Dengan menikah beda agama, kita belajar bagaimana toleransi mengajarkan anak pada dua agama berlainan untuk anak memilih agama yang ia kehendaki, bukan orang tua yang memilih agama anaknya. Apabila anak ingin mengambil agama yang diluar agama yang dianut oleh Bapak/Ibunya itu tidak menjadi soal. Karena agama itu semua sama, hanya saja cara ibadah dan kepercayaan adanya tuhan yang berbeda.


Agama bukan untuk pertentangan. Seharusnya agama yang heterogen bisa menjadi suatu kekayaan yang membuat kerukunan terjadi. Misalnya ketika ramadhan, takjil dibeli oleh kalangan non muslim, kemudian kalangan non muslim membantu tetangga dan teman yang muslim. Lalu, yang muslim juga memberikan hantaran ketika perayaan teman dan tetangga non muslim. Saling membantu ketika kesulitan. Sungguh sangat indah bukan? 


Sangat indah juga apabila suami yang islam sedang puasa, lalu istri yang non muslim memasakkan buka dan sahur untuk suami muslim dan menghormati suami yang muslim yang sedang berpuasa dengan makan tidak dihadapan orang yang berpuasa. Selanjutnya, istri non muslim ikut membantu membuat ketupat lebaran bersama suami muslim dan ikut mudik bersilahturahmi dengan sanak saudara. Lalu, suami muslim ikut merayakan hari raya istri non muslim dan berkumpul keluarga. Sangat indah bukan?



Referensi

Komunikator Serikat Jesus. 2023. Diakses dari https://jesuits.id/mengkaji-larangan-pernikahan-beda-agama/ pada 17 Februari 2025.

Komentar